Labels

Senin, 04 Juni 2012

Aktifkan Hati Nurani, Karena Iman Ingin Dimengerti

Inspirasi ini muncul saat saya berjalan pulang dari harom menuju asrama maba UIM di funduq jam’iyyatil birr. Hanya butuh waktu kurang lebih 25 menit di bawah ‘hangatnya’ terik matahari di musim shoif ini untuk menempuh jarak sepanjang  1,5  km sudah lumayan untuk membakar kalori tubuh saya (baca: diet). Jarak yang cukup ‘ideal’ buat pengganti lari siang semasa di kampung dua menara dahulu. Inilah Syari’ Abi Dzar Al Ghifari satu-satunya jalan lurus yang menghubungkan jam’iyyatil birr dengan masjid nabawy. Biasanya setiap hari jum’at maupun sore hari menjelang magrib, di ruas kanan kiri jalan terlihat gerombolan mahasiswa UIM berjalan menuju masjid nabawy dengan masing-masing meminggul satu tas atau kresek berisikan kitab. Selain itu ada pula rombongan jama’ah umroh yang kebanyakan mereka berasal dari  India dan Pakistan yang tinggal tidak jauh dari asrama kami.

Sehabis menunaikan sholat jum’at di tengah memanasnya suhu udara di musim panas saya bergegas pulang menuju asrama karena masih banyak tugas salah satunya piket kamar yang harus segera saya bereskan setelah semalam saya tunda karena tak mau melewatkan moment mengantar sohibi fillah akhu hamzah bersama kafilah mahasiswa UIM menuju bandara madinah untuk rihlah da’awiyah ke bumi pertiwi Indonesia. Belum lagi rutinitas sehari-hari yang kudu dijaga semangatnya semisal muroja’ah qur’an dan muthola’ah kitab. Di tengah perjalanan menuju asrama inilah tepatnya di trotoar tengah antara dua jalan sekitar mahatthoh Saptco saya dapatkan satu pelajaran berharga. Saat itu pandangan saya masih terfokus pada satu titik di atas sebuah funduq bertuliskan Jam’iyyatul Birr. “Huff…sendirian, masih jauh, panas lagi, kapan sampenya ini…” gerutu saya sesekali sambil menahan panasnya cuaca. Di tambah lagi diri arah kanan dan kiri saya banyak sawwaq naql/ujroh (sopir angkot/taxi) mulai mendekat sambil menawarkan jasa ”makkah..ha..makkah? yalla yalla juddah..juddah..?, wahid nafar yanbo’? yanboo’..? juddah..makkah..yanbo’ bla..bla bla...”  Jiaaaahh...ini orang apa ga liat yah orang udah geleng-geleng kepala, udah bilang Laaa…masih pula bertanya-tanya. Jan…capek, iya, haus, iya, laper, lumayan, panas, buanget jal, jarak, jauh lagi…tambah pula berisik sawwaq yg lagi cari penumpang, hmm...bener-bener mulai melunturkan semangat jalanku menuju asrama. Hampir-hampir saya mulai tergoda melirik kanan kiri, karna di sana ada baqqolah (mini market) dan ruzz bukhori (resto) yang sepintas pikir saya akan mengobati dehaga dan dangdutan (baca: keroncongan) perut saya…^.^

Segeralah saya pasang tameng ampuh penolak syaiton seraya berucap “Astaghfirullaah…sabar ndan sabarr…bentar lagi kog”. Sambil beristighfar saya mulai menenangkan pikiran wa bittaufiq minallaah tiba-tiba saya ingat lafazh ash shiroth al mustaqim di surat al Al Fatihah. Secara makna harfiah lafazh ini artinya jalan yang lurus. Yap, persis seperti jalan yang sedang saya lalui ini lurus dari masjid nabawy menuju asrama. Adapun secara tafsiriyah maknanya adalah Islam itu sendiri. Alhamdulillah, minimal 5x sehari kita melafadzkan doa Ihdinash shirothol mustaqim tiap sholat fardhu agar Allah menunjukkan kita Islam yang lurus.

Saya mulai berpikir bahwa godaan ini salah satu trik syaiton hendak mengelabuhi saya supaya menunda-nunda waktu hingga tugas saya berantakan. Sejenak, saya bertanya pada hati nurani alias menimbang-nimbang baik buruknya sambil terus mengayuh langkah pelan-pelan, “kalau saya mampir baqqolah, kalo saya rehat sebentar di ruzz bukhori, kalo saya beli es krim dulu, kalo saya bla bla bla truss…kapan saya sampe asrama, kapan saya beres2 kamar, kapan saya baca kitab, kapan saya rehat, kapan saya…?”. Jreng…!! Supaya lebih rilex saya hibur diri dengan sabda Rasulullah Sahallallaahu ‘alaihi wa sallam “Surga itu dihiasi dengan perkara-perkara yang dibenci sedangkan neraka dihiasi dengan hal-hal yang disukai.” (HR. Bukhari dan Muslim). Beli es krim, enak, makan fakhm (ayam panggang), nikmat, jalan terus, puanas, capek. Wah cocok banget situasi saya dengan hadits di atas. Kalau saya turuti, waktu saya habis, saya ga sampai-sampai, tugas keteteran, muraja’ah ambyar. Saya pun berusaha mengendalikan diri agar tidak terpengaruh oleh bayangan dinginnya es krim di baqqolah ataupun lezatnya fakhm di resto bukhori. Hanya dengan mengingat-ingat tujuan utama saya adalah satu yaitu balik ke asrama untuk menyelesaikan semua tugas, Titik! Singkat cerita saya berhasil menahan diri dari rayuan baqqolah dan resto bukhori. Di sini lah terlihat peran hati nurani saya. Saya pun lega bisa segera sampai asrama tanpa mengeluarkan real sepeser pun.

SobatQuu…

Dalam sebuah atsar Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dari 'Abdullah bin Mas'ud, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggaris satu garis dengan tangannya, kemudian bersabda: “Ini adalah jalan Allah yang lurus.” Setelahnya beliau menggaris beberapa garis di sebelah kanan dan kirinya, kemudian beliau bersabda: “Ini adalah jalan-jalan. Tidak ada satu jalan pun dari jalan-jalan ini melainkan di atasnya ada setan yang mengajak kepadanya.” Beliau lalu membaca ayat: “Sesungguhnya ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah jalan ini dan jangan kalian mengikuti jalan-jalan lain karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya.” (HR Ahmad, lihat dalam al-Musnad (VII/436) no 4437).

Kala seorang muslim sudah berada pada jalan yang lurus, saat itu pula syaiton dengan segala kemampuan membukakan jalan-jalan baru yang seakan lebih indah, lebih menarik, ringan dan lebih mudah untuk dilalui. Terkadang kita terbiasa melakukan hal-hal yang sebenarnya bukan kehendak nurani kita. Bahkan hanya berangkat dari sebuah penasaran atau sekedar coba-coba alias Iseng dan berujung pada penyasalan berkepanjangan.

Ilustrasi sederhana…

Sebut saja mas akhi. Awalnya dia pergi ke suatu swalayan induk (mall) hendak beli jaket baru yang lagi ngetrend saat itu. Setelah ia dapatkan jaket yang dicari, dia penasaran pas ngeliat banyak anak muda seusianya berbondong-bondong menuju lantai atas, terdengar salah satu dari mereka bilang “eh, ayok buruan giih, keburu habis tiketnya…”. Mas akhi pun penasaran dibuatnya. Berdalih hendak sidak lapangan akhirnya ia putuskan mengikuti arah gerak anak2 muda tadi. Tett-tooootttt,…sudah ketebak, apa hayoo?? Betttul…, bukan lain adalah XXI (twenty one) satu mustholah yang akhi-akhir ini masyhur di kalangan pesantren. Rasa penasarannya alias iseng berhasil mengantarkannya menonton film ‘Suster Ngepel’…kekekek:)

Pada taraf yang mengakhawatirkan, ia mulai menilai ‘pemandangan indah’ di sekitarnya “kayaknya asyik juga deh. Selama gue nyantri gue kan lom pernah pacaran. Iseng ah marroh-marroh, gue ingin buktiin kalo gue ga bakal lama-lama ngrasain yang beginian…” Allahul Musta’aan. Setelah ia coba, fakta berkata lain. Gara-gara iseng telah membuatnya lupa diri, berubah 180 derajat. Bermula dari iseng, dia lupa tujuan semula. Di lain kesempatan dia sudah berani mempraktekkan apa yang liat di XXI. Bahkan sekarang ia lebih suka melankolis, melas, stagnan, kolap dan pesimis alias mudah galau. Imbasnya, fokus buyar, sekolah bubar, tujuan ga karuan, masa depan suram. Nas-alullaahassalaamah

Bener kata banghaji  “Noh, kan ude gue bilangin, elu pade jangan suke ‘iseng’…!! Apelagi ampe maksiaat. Emang lo kire setan diem? Nyaho’ baru tau rasa luh…” (wuaa kasaar ya…, apwan plen bahasa amiyah guwa hehe…^,^)

Baiklah, Sobatku sekalian tidak jarang kita tergelincir dari tujuan utama lantaran hal sepele hanya karena ‘iseng’. Pesanku, hindari kebiasaan iseng lewat aktivitas rutinmu. Nyalakan semangat istiqomahmu dan jangan lupa pesan bapak-ibu. Semoga bermanfaat...


INGAT- ingat ^!^

^^...karena iman selalu ingin dimengerti...^^






0 komentar:

Posting Komentar