Apa yang pertama kali terlintas di benak kita ketika disebut lata Indonesia? Well, akan banyak sekali bermunculan sebutan maupun julukan bagi negeri kepulauan terbesar di dunia ini. Negara agraris, Negara maritime, gemah ripah loh jinawi, lumbung padi, zamrud khatulkistiwa, negeri muslim terbesar, negeri penghafal qur’an, penduduknya ramah tamah, ataukah negerio sejuta hantu, lumbung koruptor, sarang ‘ekstrimis’, eksportir pembantu, negeri gempa tsunami, lumpur lapindo, gunung merapi, dll. Benarkah julukan-julukan di atas, atau manakah di antara istilah-istilah di atas yang paling cocok menggambarkan negeri ini?
“ Indonesia yang dulu dibangga-banggakan serta dielu-elukan oleh dunia tapi kini ? Ada apa dengan negeri ini?”
Tempo Doeloe vs Era Baru
Negara Agraris. Begitulah julukan bagi bangsa Indonesia yang sejak dulu telah dikenal oleh dunia. Negeri yang gemah ripah loh jinawi. Di sana sini hasil bumi melimpah ruah dan segala kebutuhan manusia tersedia di negeri ini sehingga membuat iri bangsa lain hingga menyebabkan mereka saling berebut dapat menguasai negeri zamrud khatulistiwa ini. Sebagai Negara produsen padi terbesar dengan segala hasil bumi yang beraneka ragam sudah pasti menjanjikan kesejahteraan yang didambakan setiap rakyatnya. Betul, tapi itu dulu. Coba kita lihat fakta sekarang. Tidak sedikit rakyat yang mati kelaparan karena Negara lumbung padi ini tak sanggup menyuplai makanan pokok bagi kebutuhan sehari-hari rakyatnya sendiri. Akhirnya mau tidak mau terpaksa menelan ludah sendiri dengan mengimpor beras dari luar negeri. Bukan tanpa alasan, tidak lain salah satu penyebabnya karena semakin menyusutnya lahan pertanian yang telah disulap menjadi kawasan industri. Padahal bisa dipastikan hanya perorangan saja yang dapat menikmati hasilnya sementara di belakang sana rakyat jelata dipaksa rela menghisap jari sendiri demi menjaga eksistensi. Fakta yang lain bisa kita lihat di bidang peternakan. Tidak hanya maju di bidang pertanian saja, ternyata negri ini juga termasuk negara penghasil sapi dalam jumlah tinggi. Sekali lagi, itu dulu bro. Lain halnya saat ini, sekedar memenuhi pasokan daging dan susu bagi rakyatnya saja, lagi-lagi pemerintah harus mengimpor dari luar negeri, itupun dalam jumlah yang sangat besar. Tanpa disadari kebijakan yang semula hendak mensejahterakan rakyatnya justru kelak berbalik mencekik negeri sendiri karena fakta semakin besarnya nominal ‘bantuan’ (baca: hutang) negara hasil kebijakan tersebut. Walhasil kebijakan ini membuat slogan sendiri yang mirip dengan slogan Pegadaian yaitu “Mengatasi Masalah Tambah Masalah”.
“ Indonesia yang dulu dibangga-banggakan serta dielu-elukan oleh dunia tapi kini ? Ada apa dengan negeri ini?”
Tempo Doeloe vs Era Baru
Negara Agraris. Begitulah julukan bagi bangsa Indonesia yang sejak dulu telah dikenal oleh dunia. Negeri yang gemah ripah loh jinawi. Di sana sini hasil bumi melimpah ruah dan segala kebutuhan manusia tersedia di negeri ini sehingga membuat iri bangsa lain hingga menyebabkan mereka saling berebut dapat menguasai negeri zamrud khatulistiwa ini. Sebagai Negara produsen padi terbesar dengan segala hasil bumi yang beraneka ragam sudah pasti menjanjikan kesejahteraan yang didambakan setiap rakyatnya. Betul, tapi itu dulu. Coba kita lihat fakta sekarang. Tidak sedikit rakyat yang mati kelaparan karena Negara lumbung padi ini tak sanggup menyuplai makanan pokok bagi kebutuhan sehari-hari rakyatnya sendiri. Akhirnya mau tidak mau terpaksa menelan ludah sendiri dengan mengimpor beras dari luar negeri. Bukan tanpa alasan, tidak lain salah satu penyebabnya karena semakin menyusutnya lahan pertanian yang telah disulap menjadi kawasan industri. Padahal bisa dipastikan hanya perorangan saja yang dapat menikmati hasilnya sementara di belakang sana rakyat jelata dipaksa rela menghisap jari sendiri demi menjaga eksistensi. Fakta yang lain bisa kita lihat di bidang peternakan. Tidak hanya maju di bidang pertanian saja, ternyata negri ini juga termasuk negara penghasil sapi dalam jumlah tinggi. Sekali lagi, itu dulu bro. Lain halnya saat ini, sekedar memenuhi pasokan daging dan susu bagi rakyatnya saja, lagi-lagi pemerintah harus mengimpor dari luar negeri, itupun dalam jumlah yang sangat besar. Tanpa disadari kebijakan yang semula hendak mensejahterakan rakyatnya justru kelak berbalik mencekik negeri sendiri karena fakta semakin besarnya nominal ‘bantuan’ (baca: hutang) negara hasil kebijakan tersebut. Walhasil kebijakan ini membuat slogan sendiri yang mirip dengan slogan Pegadaian yaitu “Mengatasi Masalah Tambah Masalah”.
Ketika ‘Fulus’Jadi Tujuan
Sejauh mana keberhasilan suatu bangsa mewujudkan misinya bisa dilihat dari hakikat visi mereka sendiri. Keberhasilan dan kegagalan suatu pasukan perang tidak lepas dari tujuan dan pasukan itu sendiri. Karena tujuan itulah yang mendasari dibentuknya suatu pasukan. Di kala tujuan yang di dalamnya mencakup visi dan misi suatu gerakan sudah dilandasi dengan maksud dan cita-cita mulia yang jelas dan terorganisir maka sang prajuritlah (baca: pelaksana) yang menjadi penentu sukses tidaknya pasukan tersebut. Begitu pula pada komunitas besar suatu Negara. Pada lingkup yang lebih besar seperti ini maka lebih besar pula tanggungjawab yang diemban para pelaksananya. Oleh karena itu dibutuhkan dasar negara yang benar sebagai asas dalam perjuangan. Ingat! Hanya dasar negara yang selaras dengan Sang Pencipta yang dapat membawa suatu Negara menuju perbaikan, hal yang hingga kini belum terwujud di tanah air kita. Kemudian setelah itu barulah pelaksananya sebagai final targetman yang hendak membawa ke mana arah yang harus dituju. Sudah puluhan tahun lamanya negeri ini telah dipimpin para ‘pahlawan’ pejuang kasur empuk istana Negara. Akan tetapi tak kunjung problematika laten bangsa ini teratasi. Justru semakin merebaknya krisis kepercayaan di seluruh lapisan masyarakat. Dari kepala Negara yang dictator dan buas hingga yang lembek dan mudah gegabah semuanya tidak dapat dipercaya membawa perubahan yang berarti bagi bangsa ini. Bahkan hanya menambah panjang daftar pemimpin gagal negeri ini. Padahal seyogyanya sebagai pemimpin dapat menjadi teladan bagi rakyatnya. Namun sayang seribu sayang, mayoritas mereka kalau sudah merasakan nyenyaknya tidur manis di kursi pemerintahan, semakin leluasa memberi teladan, yaitu teladan yang pantas untuk tidak ditiru. Bukan rahasia lagi, para ‘pahlawan’ tersebut telah ‘berjasa ‘ dalam membuat rantai korupsi terselubung bersama KPK (Kafilah Para Koruptor). Hal ini membawa dampak luar bias bagi orang-orang di bawahnya. Sehingga tingkah laku tersebut mereka turun temurun dianggap lumrah terjadi pada lembaga-lembaga yang dikelola oleh Negara. Demikianlah ketika uang menjadi orientasi utama hilanglah sebuah tujuan mulia. Demi uang yang haram dianggap halal. Demi uang nyawa pun tak ada harganya. Demi uang, jabatan diselewengkan. Demi uang, segala cara ditempuh demi menggapainya, bahkan kalau perlu agama pun digadaikan. Wal’iyadzubillah.
Anak Bangsa Yang Terabaikan
Dalam hidup ini selalu ada persaingan yang tak bisa dihindari. Dalam segala hal manusia dituntut harus menjadi yang terbaik. Semua orang mendambakan hidup serba kecukupan, sejahtera, tanpa seorangpun boleh mengganggunya. Maka dengan segala karunia yang sempurna dari Sang Pencipta, muncullah di antara mereka bermacam-macam tingkat kemampuan sesuai usaha yang mereka lakukan. Ada yang Allah takdirkan menjadi seorang ilmuwan. Ada pula yang sudah bersyukur bisa menjadi tukang bangunan. Semuanya sudah Allah tentukan sebelum kita terlahir di dunia. Satu hal yang seharusnya disyukuri oleh negeri ini tapi tidak pernah mendapat perhatian serius dari pemerintah adalah fakta banyaknya anak bangsa ini yang berkarya besar tapi karyanya bukan buat negeri sendiri justru bangsa lainlah yang menikmati hasilnya. Kelihatannya aneh, tetapi setelah diselidiki ternyata fakta tersebut wajar-wajar saja. Sudah selayaknya orang-orang yang punya potensi hebat seperti ini diperlakukan semestinya, dicukupi kebutuhannya, bahkan kalau perlu dijamin kesejahteraan keluarganya, bukan malah disingkirkan karena dianggap sebagai pesaing yang dapat mengancam posisi dan jabatannya. Pantas saja apabila mereka lebih memilih berkarya di luar negeri ketimabng di negerinya sendiri. Lihat saja bagaimana mereke di negeri orang diperlakukan istimewa, ada yang menjadi warga Negara kehormatan, disegani bahkan dieprlakukan bak pahlawan. Lebih dari itu mereka semakin nyaman karena di sana punya semboyan ‘amal qolil fulus katsir’ (kerjaan dikit upah banyak). Lain hanya di Indonesia ‘amal katsir fulus qolil’ (kerjaan banyak upah sedikit) maka loyalitas pun sedikit. Sayang, betapa negeri ini belum bisa menghargai mahalnya suatu ilmu. Tidak ada apa-apanya ilmu bila dibandingkan dengan harta. Dengan ilmu harta bisa dicari. Sementara dengan harta, belum tentu ilmu dapat dimiliki. Dengan ilmu, seseorang dapat mengubah suatu negeri dan karena ilmu pula suatu bangsa disegani. Maka alangkah lucunya negeri ini dimana orang bodoh berdasi dipelihara, sedang ilmuan berjasa ditelantarkan.
Ulama dan Pemuda Cendekia, Poros Perubahan Bangsa
Walau bagaimanapun keadaan negeri ini kita harus tetap bersyukur dilahirkan menjadi bagian dari negeri penghasil gas cair (LNG) terbesar di dunia ini. Ini merupakan salah satu karunia yang Allah lebihkan bagi negeri ini dari negeri-negeri yang lain. Sekarang ini tinggal bagaimana cara kita mensyukuri. Tidak bisa dipungkiri bahwa dibalik carut marut dan semrawutnya negeri ini tetap saja menyimpan suatu hal yang menggembirakan. Selain kebanggaan atas melimpahnya kekayaan alam yang luas, ternyata ada sesuatu yang lebih pantas membuat kita bersyukur yakni fakta bahwa akhi-akhir ini mulai bermunculan generasi cendekia muslim dan meningkatnya semarak gelora menghafal Al Qur’an oleh para pemuda muslim di tengah balada keterputrukan bangsa ini yang setidaknya dapat mengobati lara yang tak kunjung sirna. Sungguh beruntung sekali jikalau kita termasuk di dalamnya, berarti ada kesempatan mulia bagi kita untuk ‘unjuk gigi’ dalam upaya perbaikan negeri. Ingat! Masih banyak PR bagi negeri eksportir kayu lapis terbesar dunia ini yang harus kita selesaikan. Setidaknya akar pemecahan problematika negeri ini mengerucut kepada dua hal, yaitu character building (pembentukan karakter) dan good defending (pertahanan yang kokoh). Kenapa harus pembentukan karakter? Jawabannya karena karakter bangsa ini sudah memudar. Masih ingatkah anda bahwa bangsa Indonesia dulu dikenal sebagai bangsa ketimuran yang agamis dan religi? Bukankah dahulu bangsa ini dikenal karena menjunjung tinggi budi pekerti? Baiklah mari kita lihat wajah negeri kita hari ini. Dimana-mana terjadi keributan, pertumpahan darah, penipuan, anarkisme, premanisme, dan semisalnya yang ternyata ini akibat dari pengaruh hilangnya panutan di tengah-tengah umat. Padahal umat ini membutuhkan sosok figur panutan yang diikuti. Jika sang panutan bilang A maka umat pun mengikutinya bilang A. Maka sudah saatnya bangsa ini membuka kembali lembaran sejarah masa lalu agar bisa membangkitkan semangat kesatria dan mengembalikan jatidiri. Sejarah yang penuh dengan perjuangan, kesetiaan, pengorbanan hingga akhirnya berhasil mengusir penjajah dari negeri ini dan dunia pun mengakui. Tahukah anda, siapa gerangan yang mengobarkan semangat membara pada diri pemuda saat itu? Siapa pula yang jasanya selalu dikenang dalam sanubari putra-putri bangsa ketika berhasil menyatukan ribuan bahkan jutaan umat dalam satu barisan di bawah bendera tauhid “Laa ilaaha Illallaah” dan pekikan takbir “Allahu Akbar, merdeka !” yang dengannya setiap yang muda maupun yang tua rela menggadaikan jiwa raganya di jalan Allah, melepas atribut kedaerahan, merebut kemerdekaan, dan bagi mereka lebih baik mati berkalang tanah daripada hidup di bawah kaki tangan penjajah, siapakah mereka?? Tidak lain mereka adalah para ulama, merekalah public figure yang hendak kita munculkan. Sebagai public figure, seorang ulama menjadi sentral panutan di masyarakat. Melalui merekalah jatidiri dan karakter bangsa kembali terbentuk. Umat terbina dalam bimbingan yang benar, petuah para ulama menjadi pelengkap dalam beramal dan Islam sebagai tolak ukur kebenaran. Oleh karena itu, mutlak adanya penanaman sejak dini kepada setiap generasi penerus akan pentingnya mendalami ilmu agama yang benar, kesadaran akan besarnya tanggungjawab, saling gotong-royong, serta dibekali dengan akhlak mulia akan dapat membentuk karakter bangsa yang kuat, mandiri, dan disegani, panutan dan dipercaya, In SyaaAllah. Ketika karakter bangsa sudah mulai mengakar kuat di masyarakat, maka hal ini perlu diimbangi dengan pertahanan yang kokoh. Petambahan yang mampu membentengi diri dari gelombang arus negatif yang selalu mengintai. Dalam arena sepak bola dikenal istilah “ Pertahanan terbaik adalah menyerang”. Dalam kancah medan dakwah pun tidak jauh berbeda. Lantas, langkah apa yang harus kita lakukan untuk mewujudkannya? Nah, tibalah saatnya bagi para penerus generasi bangsa ambil bagian dalam estafet ini. Seiring berkembangnya zaman, tantangan dakwah pun juga semakin besar. Barat dengan kedigdayaannya menawarkan kepada dunia Islam apa yang mereka sebut dengan kebebasan. Maka kitapun harus responsif dengan menyerang balik mereka secara frontal, menyeluruh, serta selalu siap siaga meladeni pertarungan ini.
“…Dan janganlah kamu (merasa) lemah dan jangan (pula) bersedih hati sebab kamu paling tinggi (derajatnya) jika kamu beriman…”
Jikalau mereka bangga dengan pergaulan bebas, perkawinan sejenis, miras, narkoba, dan segala bentuk kebebasan (baca: kemunduran akhlak), maka kita hadapi mereka dengan apa yang menjadi kebanggaan kita. Kita bangga memiliki Al Qur’an, bahkan sebagai penghafal Al Qur’an yang siap menjadi orang-orang yang menjaga keasliannya hingga hari kiamat. Al Qur’an di dadaku, inilah semboyanku. Pedoman hidup manusia yang selalu terjaga kemurniannya hingga akhir zaman, yang dengannya Allah angkat suatu kaum dan Allah hinakan selainnya. Kita tunjukkan bahwa kita umat Islam menjungjung tinggi akhlak mulia, menjaga kehormatan setiap individu, tidak membeda-bedakan kasta dan keturunan. Kita tunjukkan bahwa kita memiliki karakter yang tangguh, iman kita tidak akan runtuh walau nyawa sebagai taruhannya. Kita sampaikan pada dunia bahwa kita bangga dengan budaya kita, kita bangga dengan pedoman kita, wanita kita nyaman menutup auratnya, yang pria pun nyaman memanjangkan jenggotnya, pantang bagi kita berkhalwat dengan selain mahram, pantang bagi kita makan dan minum barang yang haram. Isyhaduu biannaa muslimuun. Kita mesti bangga dengan semua perbedaan dengan mereka. Kita berani bertaruh siapa di antara kita yang akhirnya akan keluar sebagai pemenang. Ingat! Pertarungan antara haq dan bathil akan terus berlangsung hingga akhir zaman, dimana yang haq akan selalu menang dan yang batil pasti lenyap,
“…Dan katakanlah (wahai Muhammad),” Kebenaran telah datang dan yang batil telah lenyap”. Sunguh yang batil itu pasti lenyap…”
Begitulah cara yang kita tempuh, adun kekuatan dalam arena perang pemikiran. Dengan demikian sedikit demi sedikit stigma negatif yang disematkan pada negeri pemilik terumbu karang terkaya ini In SyaaAllah berangsur hilang dan pertolongan Allah pasti segera datang. “Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertaqwa, pasti akan kami limpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi…” Terlihat jelas sekali pada proses panjang ini bahwa poros perubahan bangsa berada di pundak para ulama dengan kedekatan mereka dengan ridho Sang Pencipta Allah Ta’ala dan para pemuda muslim cendekia dengan ide dan darah segarnya bersatu dalam semangat juang lillah Ta’ala. Lalu, adakah kita di antara mereka? Wallahu a’lam Bis Showab.
Sejauh mana keberhasilan suatu bangsa mewujudkan misinya bisa dilihat dari hakikat visi mereka sendiri. Keberhasilan dan kegagalan suatu pasukan perang tidak lepas dari tujuan dan pasukan itu sendiri. Karena tujuan itulah yang mendasari dibentuknya suatu pasukan. Di kala tujuan yang di dalamnya mencakup visi dan misi suatu gerakan sudah dilandasi dengan maksud dan cita-cita mulia yang jelas dan terorganisir maka sang prajuritlah (baca: pelaksana) yang menjadi penentu sukses tidaknya pasukan tersebut. Begitu pula pada komunitas besar suatu Negara. Pada lingkup yang lebih besar seperti ini maka lebih besar pula tanggungjawab yang diemban para pelaksananya. Oleh karena itu dibutuhkan dasar negara yang benar sebagai asas dalam perjuangan. Ingat! Hanya dasar negara yang selaras dengan Sang Pencipta yang dapat membawa suatu Negara menuju perbaikan, hal yang hingga kini belum terwujud di tanah air kita. Kemudian setelah itu barulah pelaksananya sebagai final targetman yang hendak membawa ke mana arah yang harus dituju. Sudah puluhan tahun lamanya negeri ini telah dipimpin para ‘pahlawan’ pejuang kasur empuk istana Negara. Akan tetapi tak kunjung problematika laten bangsa ini teratasi. Justru semakin merebaknya krisis kepercayaan di seluruh lapisan masyarakat. Dari kepala Negara yang dictator dan buas hingga yang lembek dan mudah gegabah semuanya tidak dapat dipercaya membawa perubahan yang berarti bagi bangsa ini. Bahkan hanya menambah panjang daftar pemimpin gagal negeri ini. Padahal seyogyanya sebagai pemimpin dapat menjadi teladan bagi rakyatnya. Namun sayang seribu sayang, mayoritas mereka kalau sudah merasakan nyenyaknya tidur manis di kursi pemerintahan, semakin leluasa memberi teladan, yaitu teladan yang pantas untuk tidak ditiru. Bukan rahasia lagi, para ‘pahlawan’ tersebut telah ‘berjasa ‘ dalam membuat rantai korupsi terselubung bersama KPK (Kafilah Para Koruptor). Hal ini membawa dampak luar bias bagi orang-orang di bawahnya. Sehingga tingkah laku tersebut mereka turun temurun dianggap lumrah terjadi pada lembaga-lembaga yang dikelola oleh Negara. Demikianlah ketika uang menjadi orientasi utama hilanglah sebuah tujuan mulia. Demi uang yang haram dianggap halal. Demi uang nyawa pun tak ada harganya. Demi uang, jabatan diselewengkan. Demi uang, segala cara ditempuh demi menggapainya, bahkan kalau perlu agama pun digadaikan. Wal’iyadzubillah.
Anak Bangsa Yang Terabaikan
Dalam hidup ini selalu ada persaingan yang tak bisa dihindari. Dalam segala hal manusia dituntut harus menjadi yang terbaik. Semua orang mendambakan hidup serba kecukupan, sejahtera, tanpa seorangpun boleh mengganggunya. Maka dengan segala karunia yang sempurna dari Sang Pencipta, muncullah di antara mereka bermacam-macam tingkat kemampuan sesuai usaha yang mereka lakukan. Ada yang Allah takdirkan menjadi seorang ilmuwan. Ada pula yang sudah bersyukur bisa menjadi tukang bangunan. Semuanya sudah Allah tentukan sebelum kita terlahir di dunia. Satu hal yang seharusnya disyukuri oleh negeri ini tapi tidak pernah mendapat perhatian serius dari pemerintah adalah fakta banyaknya anak bangsa ini yang berkarya besar tapi karyanya bukan buat negeri sendiri justru bangsa lainlah yang menikmati hasilnya. Kelihatannya aneh, tetapi setelah diselidiki ternyata fakta tersebut wajar-wajar saja. Sudah selayaknya orang-orang yang punya potensi hebat seperti ini diperlakukan semestinya, dicukupi kebutuhannya, bahkan kalau perlu dijamin kesejahteraan keluarganya, bukan malah disingkirkan karena dianggap sebagai pesaing yang dapat mengancam posisi dan jabatannya. Pantas saja apabila mereka lebih memilih berkarya di luar negeri ketimabng di negerinya sendiri. Lihat saja bagaimana mereke di negeri orang diperlakukan istimewa, ada yang menjadi warga Negara kehormatan, disegani bahkan dieprlakukan bak pahlawan. Lebih dari itu mereka semakin nyaman karena di sana punya semboyan ‘amal qolil fulus katsir’ (kerjaan dikit upah banyak). Lain hanya di Indonesia ‘amal katsir fulus qolil’ (kerjaan banyak upah sedikit) maka loyalitas pun sedikit. Sayang, betapa negeri ini belum bisa menghargai mahalnya suatu ilmu. Tidak ada apa-apanya ilmu bila dibandingkan dengan harta. Dengan ilmu harta bisa dicari. Sementara dengan harta, belum tentu ilmu dapat dimiliki. Dengan ilmu, seseorang dapat mengubah suatu negeri dan karena ilmu pula suatu bangsa disegani. Maka alangkah lucunya negeri ini dimana orang bodoh berdasi dipelihara, sedang ilmuan berjasa ditelantarkan.
Ulama dan Pemuda Cendekia, Poros Perubahan Bangsa
Walau bagaimanapun keadaan negeri ini kita harus tetap bersyukur dilahirkan menjadi bagian dari negeri penghasil gas cair (LNG) terbesar di dunia ini. Ini merupakan salah satu karunia yang Allah lebihkan bagi negeri ini dari negeri-negeri yang lain. Sekarang ini tinggal bagaimana cara kita mensyukuri. Tidak bisa dipungkiri bahwa dibalik carut marut dan semrawutnya negeri ini tetap saja menyimpan suatu hal yang menggembirakan. Selain kebanggaan atas melimpahnya kekayaan alam yang luas, ternyata ada sesuatu yang lebih pantas membuat kita bersyukur yakni fakta bahwa akhi-akhir ini mulai bermunculan generasi cendekia muslim dan meningkatnya semarak gelora menghafal Al Qur’an oleh para pemuda muslim di tengah balada keterputrukan bangsa ini yang setidaknya dapat mengobati lara yang tak kunjung sirna. Sungguh beruntung sekali jikalau kita termasuk di dalamnya, berarti ada kesempatan mulia bagi kita untuk ‘unjuk gigi’ dalam upaya perbaikan negeri. Ingat! Masih banyak PR bagi negeri eksportir kayu lapis terbesar dunia ini yang harus kita selesaikan. Setidaknya akar pemecahan problematika negeri ini mengerucut kepada dua hal, yaitu character building (pembentukan karakter) dan good defending (pertahanan yang kokoh). Kenapa harus pembentukan karakter? Jawabannya karena karakter bangsa ini sudah memudar. Masih ingatkah anda bahwa bangsa Indonesia dulu dikenal sebagai bangsa ketimuran yang agamis dan religi? Bukankah dahulu bangsa ini dikenal karena menjunjung tinggi budi pekerti? Baiklah mari kita lihat wajah negeri kita hari ini. Dimana-mana terjadi keributan, pertumpahan darah, penipuan, anarkisme, premanisme, dan semisalnya yang ternyata ini akibat dari pengaruh hilangnya panutan di tengah-tengah umat. Padahal umat ini membutuhkan sosok figur panutan yang diikuti. Jika sang panutan bilang A maka umat pun mengikutinya bilang A. Maka sudah saatnya bangsa ini membuka kembali lembaran sejarah masa lalu agar bisa membangkitkan semangat kesatria dan mengembalikan jatidiri. Sejarah yang penuh dengan perjuangan, kesetiaan, pengorbanan hingga akhirnya berhasil mengusir penjajah dari negeri ini dan dunia pun mengakui. Tahukah anda, siapa gerangan yang mengobarkan semangat membara pada diri pemuda saat itu? Siapa pula yang jasanya selalu dikenang dalam sanubari putra-putri bangsa ketika berhasil menyatukan ribuan bahkan jutaan umat dalam satu barisan di bawah bendera tauhid “Laa ilaaha Illallaah” dan pekikan takbir “Allahu Akbar, merdeka !” yang dengannya setiap yang muda maupun yang tua rela menggadaikan jiwa raganya di jalan Allah, melepas atribut kedaerahan, merebut kemerdekaan, dan bagi mereka lebih baik mati berkalang tanah daripada hidup di bawah kaki tangan penjajah, siapakah mereka?? Tidak lain mereka adalah para ulama, merekalah public figure yang hendak kita munculkan. Sebagai public figure, seorang ulama menjadi sentral panutan di masyarakat. Melalui merekalah jatidiri dan karakter bangsa kembali terbentuk. Umat terbina dalam bimbingan yang benar, petuah para ulama menjadi pelengkap dalam beramal dan Islam sebagai tolak ukur kebenaran. Oleh karena itu, mutlak adanya penanaman sejak dini kepada setiap generasi penerus akan pentingnya mendalami ilmu agama yang benar, kesadaran akan besarnya tanggungjawab, saling gotong-royong, serta dibekali dengan akhlak mulia akan dapat membentuk karakter bangsa yang kuat, mandiri, dan disegani, panutan dan dipercaya, In SyaaAllah. Ketika karakter bangsa sudah mulai mengakar kuat di masyarakat, maka hal ini perlu diimbangi dengan pertahanan yang kokoh. Petambahan yang mampu membentengi diri dari gelombang arus negatif yang selalu mengintai. Dalam arena sepak bola dikenal istilah “ Pertahanan terbaik adalah menyerang”. Dalam kancah medan dakwah pun tidak jauh berbeda. Lantas, langkah apa yang harus kita lakukan untuk mewujudkannya? Nah, tibalah saatnya bagi para penerus generasi bangsa ambil bagian dalam estafet ini. Seiring berkembangnya zaman, tantangan dakwah pun juga semakin besar. Barat dengan kedigdayaannya menawarkan kepada dunia Islam apa yang mereka sebut dengan kebebasan. Maka kitapun harus responsif dengan menyerang balik mereka secara frontal, menyeluruh, serta selalu siap siaga meladeni pertarungan ini.
“…Dan janganlah kamu (merasa) lemah dan jangan (pula) bersedih hati sebab kamu paling tinggi (derajatnya) jika kamu beriman…”
Jikalau mereka bangga dengan pergaulan bebas, perkawinan sejenis, miras, narkoba, dan segala bentuk kebebasan (baca: kemunduran akhlak), maka kita hadapi mereka dengan apa yang menjadi kebanggaan kita. Kita bangga memiliki Al Qur’an, bahkan sebagai penghafal Al Qur’an yang siap menjadi orang-orang yang menjaga keasliannya hingga hari kiamat. Al Qur’an di dadaku, inilah semboyanku. Pedoman hidup manusia yang selalu terjaga kemurniannya hingga akhir zaman, yang dengannya Allah angkat suatu kaum dan Allah hinakan selainnya. Kita tunjukkan bahwa kita umat Islam menjungjung tinggi akhlak mulia, menjaga kehormatan setiap individu, tidak membeda-bedakan kasta dan keturunan. Kita tunjukkan bahwa kita memiliki karakter yang tangguh, iman kita tidak akan runtuh walau nyawa sebagai taruhannya. Kita sampaikan pada dunia bahwa kita bangga dengan budaya kita, kita bangga dengan pedoman kita, wanita kita nyaman menutup auratnya, yang pria pun nyaman memanjangkan jenggotnya, pantang bagi kita berkhalwat dengan selain mahram, pantang bagi kita makan dan minum barang yang haram. Isyhaduu biannaa muslimuun. Kita mesti bangga dengan semua perbedaan dengan mereka. Kita berani bertaruh siapa di antara kita yang akhirnya akan keluar sebagai pemenang. Ingat! Pertarungan antara haq dan bathil akan terus berlangsung hingga akhir zaman, dimana yang haq akan selalu menang dan yang batil pasti lenyap,
“…Dan katakanlah (wahai Muhammad),” Kebenaran telah datang dan yang batil telah lenyap”. Sunguh yang batil itu pasti lenyap…”
Begitulah cara yang kita tempuh, adun kekuatan dalam arena perang pemikiran. Dengan demikian sedikit demi sedikit stigma negatif yang disematkan pada negeri pemilik terumbu karang terkaya ini In SyaaAllah berangsur hilang dan pertolongan Allah pasti segera datang. “Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertaqwa, pasti akan kami limpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi…” Terlihat jelas sekali pada proses panjang ini bahwa poros perubahan bangsa berada di pundak para ulama dengan kedekatan mereka dengan ridho Sang Pencipta Allah Ta’ala dan para pemuda muslim cendekia dengan ide dan darah segarnya bersatu dalam semangat juang lillah Ta’ala. Lalu, adakah kita di antara mereka? Wallahu a’lam Bis Showab.